Peliknya Masalah Rokok, Orang Terdekat adalah Role Model-nya



Senin, 29 Maret 2021, aku diberi kesempatan untuk bisa ikut acara zoom yang diselenggarakan oleh KBR dengan tema "Rasionalisasi Kebijakan dan Optimalisasi Pengawasan Harga Pasar Rokok" 


Webinarnya sendiri dimoderatori oleh Aditya Laksamana Muda (Pemred beritasatu.com).

Sementara narasumbernya sendiri ada empat orang, mereka adalah: Adi Musharianto

((CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta), Rama Prima Syati Fauzi

(Analisis Kebijakan Madya Kedeputian Peningkatan Kualitas Kesehatan dan PK, Kemenko PMKW), Wawan Juswanto (Analisis Kebijakan Madya, Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan RI, dan Dr. Risky Kusuma Hartono (Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI))


pixabay.com


Rokok, yay or nay? 


Buat aku jelas nay banget, tapi nyatanya memang ini adalah masalah yang nggak ada habis-habis dibahas dan nggak pernah selesai. 


Karena apa? Jelas banyak faktornya. 


Meningkat dari Tahun ke Tahun


Seperti diungkapkan pak Aditya bahwa memang pengguna rokok adalah kalangan bawah, para pelajar dan mereka yang masih berusia muda. Yang sebenarnya adalah orang-orang yang "mungkin" akan kesulitan untuk menyisihkan dana apabila mengidap penyakit yang diakibatkan oleh rokok tadi. Sementara pelajar? Jelas mereka nggak punya uang sendiri buat biaya ke dokter.


Mengerikannya jumlah ini terus meningkat dari ke tahun. Data dari Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) pada tahun 2013, populasi perokok berusia 10 -18 tahun adalah 7,2% dan 5 tahun kemudian, tepatnya 2018, jumlahnya menjadi 9,1%.


Usia pelajar yes, seusia anak sulungku. Pernahkah kamu membayangkan anakmu sendiri melakukannya? Kira-kira apa reaksi yang akan kamu tunjukkan pada mereka? Orang yang kamu kasihi...


The Reason, Why?


Tapi sebetulnya apa, sih, yang membuat "kalangan ini" tetap mencintai rokok dan dekat dengan barang yang sebetulnya satu langkah lagi menuju narkoba ini? 


Aku pernah bicara dengan beberapa orang yang memang pecandu rokok dan mereka adalah perempuan, ibu dari anak-anak yang bersiap untuk menggantikan tugasnya. Anak-anak yang disebut sebagai generasi berikutnya yang seharusnya adalah pribadi-pribadi yang jauh lebih baik, tapi berkaca pada seorang "guru" di rumah dengan cara yang salah.


Ibu, ayah adalah contoh terdekat dari anak-anak yang kelak akan meniru tingkah dan lakunya. Terutama ibu yang mendapat julukan sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya. 


Ia, mereka, memutuskan untuk menyesap beberapa batang rokok dalam satu hari karena, 

- Bisa menahan rasa lapar

- Bisa menghilangkan stres

- Didukung lingkungan sekitar


Menurutku apa pun alasan yang diungkapkan oleh mereka. Artinya mereka sama sekali nggak punya hak dan menuntut anak-anaknya bisa jadi lebih baik darinya. 


"Jadi bu...jangan pernah marah kalau someday, you find someone act like you...and they are your son or your daughter." Karena kacanya adalah orang tua.


Selain mencontoh dari orang tua, alasan lainnya adalah karena jumlah iklan rokok sama banyaknya dengan jumlah kedipan mata. 

Nggak cuma di tivi, di warung, di radio, di jalan raya, iklan-iklan rokok segede-gede gaban terpampang nyata. 


Meski iklan disertai dengan gambar yang cukup mengerikan (gambar leher berlubang), tapi pada kenyataannya enggak cukup bikin para perokok jera. 


Karena apa lagi?

Karena cara dapetin rokok itu gampang.

Karena rokok itu murah

Karena dengan uang recehan pun bisa didapat.


Back to Zoom


Even seperti yang dikatakan pak Aditya lagi, berdasarkan Peraturan Kementrian Keuangan No.198/PMK.010/2020 mengenai Tarif Cukai Hasil Tembakau, yang salah satu klausulnya menyatakan bahwa harga jual di tingkat perokok tidak boleh kurang dari 85% dari harga eceran yang tertera di bungkus rokok.


Pada kenyataannya, masih banyak rokok yang dijual di luar ketentuan tersebut. 


Pemaparan dari Para Narasumber



Mendengar penjelasan dari pembicara pertama yaitu bapak Wawan Juswanto, yang memaparkan beberapa hal terkait rokok. Salah satunya adalah jumlah perokok yang mengalami peningkatan terutama untuk kamu perempuan dan anak, serta remaja. 


Beliau juga mengungkapkan bahwa bea cukai rokok mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Termasuk kebijakan pemerintah di tahun 2021 ini untuk tidak menaikan cukai khusus untuk SKT (Sigaret Kretek Tangan) yang bertujuan untuk melindungi petani dan tenaga kerja rokok linting.


Singkatnya penjelasan dari bapak Wawan ini terkait dengan kebijakan pemerintah atas Harga Transaksi Pasar atau HTP yang seharusnya tidak berada di bawah 85% dari HJE tadi. 





Lanjut ke pembicara yang kedua yaitu bapak Rama. Di sini aku bisa mengambil beberapa poin, termasuk salah satunya seperti yang sudah aku singgung juga di atas.


Bahwa benar adanya jika orang tua yang notabene adalah orang dewasa kadang nggak bijak dengan aturan penerapan kawasan bebas rokok, dan peniru itu (anak-anak) bersiap untuk menyerap dengan baik kebiasaan yang dilihatnya tersebut.


Berikutnya disinggung pula mengenai kesenjangan  PP 109 tahun 2012. Peraturan Pemerintah ini sebetulnya mengatur tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.


Kesimpulan penjelasan pak Rama diperjelas dalam slide yang ditampilkan di bawah ini. 



Dari penjelasannya, aku tahu bahwa pembelian rokok di rumah tangga itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pembelian protein untuk anak-anak. What!


Ini dibuktikan dengan jumlah stunting yang juga tinggi di beberapa wilayah di Indonesia karena orang tuanya adalah perokok.


Jadi sebetulnya keluarga kalangan perokok itu bisa dengan sangat memenuhi kebutuhan anak-anaknya, seandainya mereka tidak merokok…


Berlanjut pada pembicara yang ketiga yaitu bapak Adi, CHED ITB Ahmad Dahlan yang memaparkan berbagai hasil analisis terkait rokok yang berhubungan dengan HTP dan HJE.

Berikut ini beberapa slide materi yang beliau sampaikan.








Menurutnya HTP 85% baiknya tetap dipertahankan dengan kemungkinan akan naik di tahun-tahun berikutnya secara bertahap.


Dr. Risky sebagai pembicara terakhir berkesempatan menyampaikan beberapa hal terkait Optimalisasi Pengawasan Konsumsi Tembakau di Indonesia.












Kesimpulan webinar ini adalah:

- Menurunkan prevalensi perokok anak dan remaja

- Intervensi pemerintahterhadap harga rokok 

- Peninjauan kembali 2017 ditinjau kembali terkait htp 

- Penyederhanaan tarif cukai


Rumit, ya, lumayan ngejlimet ketika mendengar pemaparan yang cukup panjang dari para narasumber ini. 


But, aku ngerasa senang bisa mendengarkan selama kurang lebih 1.41 menit untuk ngebuka wawasanku sebagai seorang ibu dari calon generasi penerus yang ingin hidup mereka lebih baik, lebih sehat, lebih bermanfaat.


Setidaknya dari tugas aku sebagai ibu, bisa membantu menekan kenaikan perokok terutama pada usia muda, karena aku bisa berperan dan membantu anak-anakku untuk sibuk dengan hal lain ketimbang melibatkan hidup dengan rokok.


Buat kamu yang mau tahu lengkapnya kek apa, webinar yang aku ikuti, bisa lihat langsung di channel KBR ini ya...



Lita Widi H
Hey! Welcome to My Blog

Related Posts

Post a Comment